Selasa, 03 Maret 2015

MAKNA SIGER SAIBATIN


Seperti yang dilihat pada gambar disamping bahwa siger pada suku Lampung yang beradatkan saibatin memiliki lekuk tujuh dan dengan hiasan batang/pohon sekala di masing-masing lekuknya, ini memiki makna ada tujuh adok/gelar pada masyarakat pesisir yaitu Suttan/dalom, Raja jukuan/dipati, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas/inton, gelar/adok ini hanya dapat digunakan oleh keturunan lurus saja, dengan kata lain masih kental dengan nuansa kerajaan, dimana kalau bukan anak raja dia tidak berhak menggunakan gelar/adok raja begitu juga dengan gelar/adok lainnya. 

Rumah Gadang Pagaruyung yang berlukuk tujuh.
Sedangkan bentuknya, siger saibatin sangan mirip dengan Rumah Gadang kerajaan Pagaruyung seperti Istano Si Linduang Bulan, yaitu rumah pusaka dari keluarga besar ahli waris dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dan juga Museum Adityawarman di daerah Minangkabau, provinsi Sumatra Barat. Karena itulah maka adat budaya Lampung saibatin mendapat pengaruh dari kerajaan Pagaruyung, hal ini sangat berkaitan dengan sejarah berdirinya Paksi Pak Sekala Bekhak (Buay Bejalan Diway, Buay Pernong, Buay Nyerupa dan Buay Belunguh), dimana pada masa masuknya islam di daerah lampung pada masa kerajaan di tanah sekala bekhak, mendapat pengaruh dari kerajaan pagaruyung yang di sebarkan oleh Ratu Ngegalang Paksi. Selain itu banyak kesamaan antara adat saibatin dengan adat pagaruyung seperti pada saat melangsungkan pernikahan, tata cara dan alat yang digunakan banyak kemiripan. 

Sigokh pada suku Lampung yang beradatkan Saibatin memiliki lekuk tujuh dan dengan hiasan batang/pohon Sekala pada masing masing lekuknya, ini memiki makna ada tujuh Adoq [Gelar] pada Masyarakat Adat Saibatin yaitu Suttan/Dalom/Pangeran [Kepaksian/Marga], Raja Jukuan/Depati, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas/Itton. Adoq ini hanya dapat digunakan oleh keturunan lurus saja, dengan kata lain masih kental dengan nuansa kerajaan, dimana kalau bukan anak raja dia tidak berhak menggunakan Adoq Raja begitu juga dengan Adoq lainnya. Sedangkan bentuknya Sigokh Saibatin juga mirip dengan Rumah Gadang pada Kerajaan Pagaruyung seperti Istano Si Linduang Bulan, yaitu rumah pusaka dari keluarga besar ahli waris dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung dan juga Museum Adityawarman di daerah Minangkabau Sumatera Barat.
 
Tari Sembah, salah satu tarian adat khas lampung.

Hal ini disebabkan karena Adat Budaya Lampung Saibatin mendapat pengaruh dari Kerajaan Pagaruyung, ini sangat berkaitan dengan sejarah berdirinya Paksi Pak Sekala Bekhak [Paksi Bejalan Di Way, Paksi Pernong, Paksi Nyerupa dan Paksi Belunguh], keempat Kepaksian ini berdiri setelah kedatangan Umpu Belunguh atau pada lima generasi sejak berdirinya ketiga Jurai yang lain. Kedatangan para Umpu ke Sekala Bekhak tidaklah bersamaan, baru pada masa kedatangan terakhir Umpu Belunguh ini Agama Islam menjadi Agama resmi di Sekala Bekhak. Paksi Pak Sekala Bekhak mengangkat saudara seorang Nabbai yang dikasihi yaitu  Buway Bulan beserta dengan Buway Benyata/Anak Mentuha di Luas. Dimana pada masa masuknya Islam di daerah Lampung pada masa kerajaan di tanah Sekala Bekhak, mendapat pengaruh dari Kerajaan Pagaruyung yang di sebarkan oleh Ratu Ngegalang Paksi. Selain itu banyak kesamaan antara adat Saibatin dengan adat Pagaruyung seperti pada saat melangsungkan pernikahan, tata cara dan alat yang digunakan banyak kemiripan. Walau memiliki lekuk tujuh yang ujungnya mirip dengan Rumah Gadang namun demikian pada setiap lekuk Sigokh dihiasi dengan batang Sekala.                  

Minggu, 08 Februari 2015

PRASASTI LAMPUNG (Saksi Bisu Sejarah Lampung)


Dalam penelitian Arkeologi dan Sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sejaman yang amat penting, karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari Daerah Lampung sampai saat ini telah ditemukan sembilan buah prasasti yang berasal dari jaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai abad ke-15. Kesembilan buah prasasti tersebut adalah:

Prasasti Palas Pasemah
1.Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)
Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hampir sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.


Prasasti Bungkuk
2.Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7) 
Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaanya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke-7.

Prasasti Batu Bedil
3.Prasasti Batu Bedil (akhir abad ke 9 atau 10) 
Prasasti ini di temukan di Desa Batu Bedil Kecamatan Pulau Punggung Kabupaten Tanggamus. Prasasti dipahatkan pada sebuah batu berukuran tinggi 175 cm, lebar 60 cm, dan tebal 45 cm, sebanyak 10 baris dengan huruf Jawa Kuno akhir abad ke 9 atau awal abad ke 10, berbahasa Sansekerta. Prasasti ditulis dengan huruf berukuran cukup besar (tinggi huruf sekitar 5 cm), namun karena batunya sangat usang, terutama di bagian tengah maka tidak seluruhnya dapat dibaca. Dari beberapa baris yang dapat diketahui dapat diketahui isinya merupakan semacam doa-doa yang bersifat Budhis.

Prasasti Hujung Langit
4.Prasasti Hujunglangit/ Bawang (akhir abad ke 10) 
Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut. Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno.

Prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha. Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari.

Prasasti Tanjung Raya
5.Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10) 
Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.

6.Prasasti Ulubelu (abad ke 14)
Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M.

7.Prasasti Angka Tahun (abad ke 14)
Pada tahun 1993 ketika diadakan eskavasi di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur ditemukan sebuah prasasti Angka Tahun yang dipahatkan pada sepotong batu tufa berbentuk balok. Prasasti ditulis dengan angka Jawa Kuno, menunjuk pada tahun Saka 1247 (1325 M).

8.Prasasti Dadak / Bataran Guru Tuha (abad ke 15)
Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya).


Selasa, 03 Februari 2015

MAKNA SIGER

Siger Lampung Pepadun Lekuk Siwo(Sembilan)

Siger Lampung Saibatin Lekuk Pitu(Tujuh)
Sigokh sebutan dalam bahasa Lampung dialek Api dan Siger sebutan dalam bahasa Lampung dialek Nyow memang sangat identik dengan Lampung. Dalam suku bangsa Lampung Sigokh merupakan suatu benda yang sangat penting, baik yang beradat Saibatin maupun yang beradat Pepadun.

Sigokh adalah mahkota khas Lampung yang merupakan simbol keagungan Budaya Lampung yang dikenakan oleh Kebayan [Pengantin] dan Bangsawan Lampung. Sigokh dikenakan oleh Perempuan Lampung, sedangkan Sigokh yang dikenakan oleh Pria Lampung berarti juga melambangkan hirarki seseorang didalam Adat.  
Kini Sigokh bukan hanya digunakan sebagai mahkota pada acara adat Etnis Lampung namun juga telah berkembang menjadi Ikon berupa hiasan dan lambang kebanggaan Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat seperti di gerbang Lampung, tepatnya di dekat pelabuhan Bakauheni telah dibangun sebuah menara berbentuk Sigokh dengan nama Menara Siger. Sigokh juga digunakan sebagai hiasan dan lambang pada tugu-tugu dan kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan. Kemudian bebarapa tahun ini di kota Bandar Lampung, setiap bangunan seperti toko, ruko, pusat perbelanjaan dan setiap bangunan yang berada di jalan kota Bandar Lampung telah diwajibkan menggunakan hiasan Sigokh diatas pintu masuk atau diatas [atap] pada bangunannya.
 
Sang Bumi Ruwa Jurai adalah semboyan provinsi Lampung, dengan pengertian : “Di Tanah Lampung terdapat satu kesatuan dari dua adat yang berbeda, yaitu Lampung Pesisir dengan adat Saibatin dan Lampung Abung dengan adat Pepadun”. Namun ketika kita memperhatikan bentuk Sigokh dari masing-masing dari keduanya ternyata ada perbedaan antara Sigokh Saibatin dan Sigokh Pepadun. Hal  yang paling mencolok yaitu lekuk pada Sigokh, untuk yang beradat Saibatin, Sigokh yang digunakan memiliki lekuk berjumlah tujuh [Sigokh Lekuk Pitu] sedangkan untuk yang beradat Pepadun menggunakan Sigokh dengan lekuk berjumlah Sembilan [Siger Lekuk Siwo).
 
Bentuk siger menurut beberapa penuturan adalah perwujudan seekor burung yang sedang mengepakan sayapnya atau disebut "KENUI KAMBOR" atau "KENUI HABANG" yang bermakna keluasan dan ketinggian adat, demikian pula menjadi suatu kehormatan bagi yang mengenakannya, demikian menunjukkan bahwa adat lampung sangat memuliakan posisi seorang wanita. Sesuai legenda pada masyarakat lampung, syahdan di SEKALA BRAK tumbuh sebuah pohon KAYU HARA yang sangat besar dan tinggi. Penduduk sangat takut karena diatas pohon tersebut merupakan tempat bersarangnya burung elang (KENUI) yang sangat ganas. Banyak kerusakan akibat serangan burung tersebut yang mengakibatkan rakyat di sekitar pohon tersebut menjadi takut atas serangan kenui tersebut.
 
 
Akhirnya di tunjuklah SEMBILANG PUNGGAWA sekala brak untuk merubuhkan batang pohon tersebut dengan maksud agar kenui-kenui ganas pergi menjauh. Akan tetapi dalam merubuhkan pohon tersebut dilalui dengan pertempuran menghadapi kenui-kenui tersebut TUJUH ORANG PUNGGAWA GUGUR, dan sisanya pulang dengan selamat. Menurut cerita  kayu hara tersebut setelah rubuh bekas pangkalnya menjadi danau dan ujungnya tumbang sampai di teluk semangka. Untuk mengenang ketujuh pungawa yang gugur itu maka masyarakat setempat membuat personifikasi SIGER DENGAN TUJUH LEKUKAN, dan sebagian lain masyarakat mengenang seluruh punggawa yang berjuang membuat sieger dengn SEMBILAN LEKUKAN. 
 
Selain di atas, bentuk siger yang menyerupai burung terbang dapat diperkirakan sebuah peninggalan kepercayaan lama dibumi sekala brak. Sebelum masuknya pengaruh Islam ketanah bukit pesagi, kelompok-kelompok kecil yang disebut suku tumi telah dahulu mendiami daerah ini, ada yang menyebutkan mareka menganut "HINDU BHAIRAWA" menyembah pohon MALASA KEMPAMPANG (Pohon Nangka Bercabang Dua cikal bakal dibuatnya padun). Kaitannya adalah bahwa oleh masyarakat hindu dipercaya bahwa burung adalah hewan yang agung, khususya BURUNG GARUDA yang merupakan seekor burung mitologi, SETENGAH MANUSIA SETENGAH BURUNG, ia adalah RAJA BANGSA BURUNG terlebih lagi ia juga menjadi KENDARAAN DEWA WISNU.

Senin, 02 Februari 2015

LAMPUNG HINDU-BUDHA (Abad ke VII)

Wah kebetulan saat ini masyarakat indonesia lagi demam FILM INDIA, seperti MAHABRATA, MAHADEWA, RAMAYANA. Pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok DEWA SYIWA, DEWA WYSNU, DEWA BRAHMA, dan TRIMURTI.
Apa hubungannya pak penulis LAMPUNG DENGAN PARA DEWA ?
Pasti bertanya-tanya karena mungkin seumur hidup kita mencari  SUKU LAMPUNG NON ISLAM itu sesuatu yang SULIT/MUSTAHIL, yah walau ISLAMNYA HANYA ISLAM KTP.
Yap betul sekali saya saja seumur-umur belum pernah ketemu ORANG LAMPUNG NON MUSLIM, bukan karena tidak gaul tapi emang begitu faktaya.

Untuk mengetahui betapa eratnya kaitan ajaran HINDU-BUDHA dengan kebudayaan lampung, dapat di lihat dari banyak hal :
1.TULISAN LAMPUNG
Tulisan Lampung ini baik yang tertulis di TAMBO atau PRASASTI kalau kita teliti dan selidiki dari bentuk gambar hurufnya, maka tulisan ini berasal dari tulisan huruf Pallawa Hindu (Lebih jelas tanyakan pada para sarjana-sarjana Tulisan Purba).Untuk Penjelasan lengkap HAD LAMPUNG klik AKSARA LAMPUNG

2. PRASATI
Dari tulisan-tulisan yang tertulis di PRASASTI yang di temukan di seputaran lampung semuanya memiliki persamaan yang bisa kita tarik benang merah yaitu beberapa prasasti di gunakan sebagai tempat pemujaan, sebagai contoh :
Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)
Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hamper sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.
Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Lampung Selatan

3. ADAT KEBUDAYAAN
Pengaruh Hindu ini banyak sekali mempengaruhi dibidang Adat kita lebih kelihatan sekali dalam upacara Adat Perkawinan, misalnya :
Lambang burung Garuda yang dipergunakan waktu mau arak-arakan, apa sebab Lambang ini sudah menjadi kebiasaan dipakai menjadi tradisi Adat, karena menurut pengertian orang-orang Lampung, bahwa burung Garuda itu adalah suatu burung yang terkuat dan ada cerita sejarahnya waktu terjadinya SKALA BERAK. Disamping itu malahan ini yang sebenarnya asli dari Zaman Hindu Purba bahwa ke 3 Dewa yang dipuja puji orang Hindu yaitu :
DEWA BRAHMA, DEWA SYIWA, DEWA WYSNU yang merebut TRIMURTI mempunyai pakaian kendaraannya masing-masing. Brahma memakai kendaraan yang disebut GANSA, Wysnu memakai kendaraan burung Garuda, sedangkan Syiwa memakai kendaraan NANDHI.

Lain dari pada ini tatkala mempelai laki-laki akan membawa mempelai perempuan kerumahnya (ngakuk) mempelai laki-laki memegang tombak bagian muka, mempelai perempuan memegang bagian belakang, diatas gagang tombak itu digantungi kelapa tumbuh, padi, pisang, kapas dan sebagainya. Ini adalah perlambangan Hindu, lebih-lebih padi adalah kekuasaan Dewi Sri istrinya Dewa Wysnu.

Dalam pembuatan rumah kita lihat waktu akan memasang bubunga/atap, diatasnya digantungi Sang Merah Putih, Setandan Pisang, botol yang berisi air, bukankah ini perlambangan Hindu kesemuanya. Demikian juga dalam membuka tanah, untuk membuat huma/ladang, kelihatan benar pengaruh Hindu disini, sebelum digarap tanah itu di gali dulu, dibaca mantera-mantera diadakan sesajen dan sebagainya untuk mengusir iblis, setan dan sebagainya.

Lebih-lebih di Kampung-kampung dan dipedalaman hal ini masih dipraktekkan oleh Rakyat disana. Mereka masih meyakinkan bahwa Roh-roh itu masih aktif, masih bekerja masih tetap mengawasi anak-cucunya dimana saja berada. Mereka masih meyakinkan bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar mempunyai penunggu dan penjaganya, inilah yang dinamakan Animisme.

Dari penjabaran di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa suku lampung pada awalnya menganut paham ANIMESME, HINDU-BUDHA. Karena memang islam di indonesia menyebar dengan menyisipkan ajaran islam dengan adat istiadat yang di anut di masyrakat setempat. Sehingga bisa meminimalisir perselisihan.

Terus sejak kapan masyarakat lampung menjadi islam....???

Nanti akan penulis jabarkan di Topik Lain mengenai pengislamanan SUKU TUMI oleh PAKSI PAK....


ang burung Garuda yang dipergunakan waktu mau arak-arakan, apa sebab Lambang ini sudah menjadi kebiasaan dipakai menjadi tradisi Adat, karena menurut pengertian orang-orang Lampung, bahwa burung Garuda itu adalah suatu burung yang terkuat dan ada cerita sejarahnya waktu terjadinya SKALA BERAK. Disamping itu malahan ini yang sebenarnya asli dari Zaman Hindu Purba bahwa ke 3 Dewa yang dipuja puji orang Hindu yaitu :

DEWA BRAHMA, DEWA SYIWA, DEWA WYSNU yang merebut TRIMURTI mempunyai pakaian kendaraannya masing-masing.

Brahma memakai kendaraan yang disebut GANSA, Wysnu memakai kendaraan burung Garuda, sedangkan Syiwa memakai kendaraan NANDHI. Lain dari pada ini tatkala mempelai laki-laki akan membawa mempelai perempuan kerumahnya (ngakuk) mempelai laki-laki memegang tombak bagian muka, mempelai perempuan memegang bagian belakang, diatas gagang tombak itu digantungi kelapa tumbuh, padi, pisang, kapas dan sebagainya. Ini adalah perlambangan Hindu, lebih-lebih padi adalah kekuasaan Dewi Sri istrinya Dewa Wysnu.

Dalam pembuatan rumah kita lihat waktu akan memasang bubunga/atap, diatasnya digantungi Sang Merah Putih, Setandan Pisang, botol yang berisi air, bukankah ini perlambangan Hindu kesemuanya. Demikian juga dalam membuka tanah, untuk membuat huma/ladang, kelihatan benar pengaruh Hindu disini, sebelum digarap tanah itu di gali dulu, dibaca mantera-mantera diadakan sesajen dan sebagainya untuk mengusir iblis, setan dan sebagainya. - See more at: http://tulangbawang.mestaboh.com/2014/04/peninggalan-peninggalan-kerajaan-tulang.html#sthash.bTpii4UG.dpuf

Minggu, 01 Februari 2015

JENIS SASTRA LAMPUNG

A. Effendi Sanusi (1996) membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: PERIBAHASA, TEKA-TEKI, MANTERA, PUISI, dan CERITA RAKYAT

Sesikun/Sekiman (Peribahasa)

Sesikun/Sekiman adalah bahsaa yang memiliki arti kiasan atau semua bahasa berkias. Fungsinya sebagai alat pemberi nasihat, motivasi, sindiran, celaaan, sanjungan, perbandingan, atau pemanis dalam berbahasa.
Contoh 1: Di kedo biduk teminding, di san wai tenimbo.
Artinya: Pandai-pandailah membawa diri, bersikaplah sesuai 
         dengan adat-istiadat setempat.
Contoh 2: Dang happuk di kemutik, beguno ki gayah.
Artinya: Jangan meremehkan orang yang tidak punya atau orang bodoh;siapa 
         tahu dalam keadaan tertentu justru mereka yang bisa membantu. 

Seganing/Teteduhan (Teka-Teki)

Seganing/Teteduhan adalah soal yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran.
Contoh: Sanak sangomuaghei lapah di sabah. Makai kawai besei, kepiahno adek bah. Nyokidah?apa jawabannya??

Warahan (Cerita Rakyat)

Warahan adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan; bisa berbentuk epos, sage, fabel, legenda, mite, atau semata-mata fiksi.

Puisi

Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik terdiri atas diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi (rima, ritma, dan metrum), dan tipografi puisi. Struktur batin terdiri atas tema, nada, perasaan, dan amanat. Kedua struktur itu terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi penikmatnya (A. Effendi Sanusi, 1996).

Bentuk-Bentuk Puisi Lampung

Berdasarkan fungsinya, ada lima macam puisi Lampung: paradinei/paghadini, pepaccur/pepaccogh/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang.

Paradinei/Paghadini

Paradinei/paghadini adalah puisi Lampung yang biasa digunakan dalam upacara penyambutan tamu pada saat berlangsungnya pesta pernikahan secara adat. Paradinei/paghadini diucapkan jurubicara masing-masing pihak, baik pihak yang datang maupun yang didatangi. Secara umum, isi paradinei/paghadini berupa tanya jawab tentang maksud atau tujuan kedatangan (A. Effendi Sanusi).
Contoh1:
             Penano cawono pun, tabik ngalimpuro.
             Sikam jo keno kayun, tiyan sai tuho rajo.
             Ki cawo salah susun, maklum kurang biaso.
             Sikam nuppang betanyo, jamo metei sango iringan.
             Metei jo anjak kedo, nyo maksud dan tujuan.
             Mak dapek lajeu di jo, ki mak jelas lapahan. 

Pepaccur/Pepaccogh/Wawancan

Pepaccur/Pepaccogh/Wawancan adalah salah satu jenis sastra lisan Lampung yang berbentuk puisi, yang lazim digunakan untuk menyampaikan pesan atau nasihat dalam upacara pemberian gelar adat (adek/adok)
Sudah menjadi adat masyarakat Lampung bahwa pada saat bujang atau gadis meninggalkan masa remajanya, pasangan pengantin itu diberi adek/adok sebagai penghormatan dan tanda bahwa mereka sudah berumah tangga. Pemberian adek/adok dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah ngamai adek/ngamai adok (jika dilakukan di tempat mempelai wanita), nandekken adek dan inei adek/nandok
gelakhne ............. anjak pekon ............. bingi hinji lagi senang sekhta bahagia lain moneh tipugampang astawa dipumudah adokne sanak sinji yakdo lah ............ dst
 

Pattun/Segata/Adi-Adi

Pantun/Segata/Adi-Adi adalah salah satu jenis puisi Lampung yang di kalangan etnik Lampung lazim digunakan dalam acara-acara yang sifatnya untuk bersukaria, misalnya pengisi acara muda-mudi nyambai, miyah damagh, kedayek.
Contoh pattun/segata:
Bukundang Kalah Sahing
Numpang pai nanom peghing
Titanom banjagh capa
Numpang pai ngulih-ulih
Jama kutti sai dija
Adek kesaka dija
Kuliak nambi dibbi
Adek gelagh ni sapa
Nyin mubangik ngughau ni
Budaghak dipa dinyak
Pullan tuha mak lagi
Bukundang dipa dinyak
Anak tuha mak lagi
Payu uy mulang pai uy
Dang saka ga di huma
Manuk disayang kenuy
Layau kimak tigaga
Nyilok silok di lawok
Lentera di balimbing
Najin ghalang kupenok
Kidang ghisok kubimbing
Kusassat ghelom selom
Asal putungga batu
Kusassat ghelom pedom
Asal putungga niku
Kughatopkon mak ghattop
Kayu dunggak pumatang
Pedom nyak sanga silop
Min pitu minjak miwang
Indani ghaddak minyak
Titanom di cenggighing
Musakik kik injuk nyak
Bukundang kalah sahing
Musaka ya gila wat
Ki temon ni peghhati
Ya gila sangon mawat
Niku masangkon budi
Ali-ali di jaghi kiri
Gelang di culuk kanan
Mahap sunyin di kutti
Ki salah dang sayahan
Terjemahannya:
Pacaran Kalah Saingan
Numpang menanam bambu
Ditanam dekat capa
Numpang bertanya
Kepada kalian di sini
Adik kapan kemari
Kulihat kemarin sore
Nama adik siapa
Agar enak memanggilnya
Berladang dimana aku
Hutan tua tiada lagi
Pacaran dengan siapa aku
Anak tua tiada lagi
Ya uy pulang dulu uy
Jangan lama-lama di ladang
Ayam disayang elang
Kacau kalau tak dicegah
Melihat-lihat di laut
Lentera di balimbing
Walau jarang kulihat
Tapi sering kuucap
Kucari ke dasar gelap
Asal bersua batu
Kucari hingga ke tidur
Asal bersua denganmu
Kurebahkan tak rebah
Kayu di ujung pematang
Sejenak aku tertidur
Tujuh kali terbangun menangis
Layaknya ghaddak minyak*
Ditanam di lereng bukit
Betapa derita kurasakan
Pacaran kalah saingan
Sudah lama sebenanya ada
Kalau memang lebih perhatian
Ya memang tidak
Kau menanam budi
Cincin di jari kiri
Gelang di kaki kanan
Maaf semuanya kepada kalian
Kalau salah jangan mengejek

Bebandung

Bebandung adalah puisi Lampung yang berisi petuah-petuah atau ajaran yang berkenaan dengan agama Islam.

Ringget/Pisaan

Ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang adalah puisi tradisi Lampung yang lazim digunakan sebagai pengantar acara adat, pelengkap acara pelepasan pengantin wanita ke tempat pengantin pria, pelengkap acara tarian adat (cangget), pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, atau kedayek), senandung saat meninabobokan anak, dan pengisi waktu bersantai.


AKSARA LAMPUNG (Had Lampung)

Lampung consonants.gif
Aksara Lampung (Lampung:Had lampung.png, Had Lampung) adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari INDIA SELATAN.
Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam HURUF ARAB, dengan menggunakan tanda-tanda fathah pada baris atas dan tanda-tanda kasrah pada baris bawah, tetapi tidak menggunakan tanda dammah pada baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang, di mana masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.

Had Lampung dipengaruhi dua unsur, yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan AKSARA RENCONG, AKSARA REJANG Bengkulu, AKSARA SUNDA, dan AKSARA LONTARA.
Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KAGANGA ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.

Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks, sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.



















RUMPUN BAHASA LAMPUNG (Pembagian Dialek Lampung)


Rumpun bahasa Lampung adalah sekelompok bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Provinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten. Rumpun ini terdiri dari :
  • BAHASA LAMPUNG API
  • BAHASA LAMPUNG NYOW
Kelompok ini merupakan cabang tersendiri dalam RUMPUN BAHASA MELAYU-POLINESIA.
Ada yang membagi rumpun bahasa Lampung dalam dua dilek. Pertama, DIALEK A yang dipakai oleh ulun Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung (yang beradat Lampung Peminggir/Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun).

Kedua, DIALEK O yang dipakai oleh ulun Abung dan Menggala/Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). Dr Van Royen mengklasifikasikan rumpun bahasa Lampung dalam dua subdialek, yaitu dialek Belalau atau dialek Api, dan dialek Abung atau Nyo.

A. Dialek Belalau (Dialek Api), terbagi menjadi:
  1. Bahasa Lampung Logat Belalau dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomisili di Kabupaten Lampung Barat yaitu Kecamatan Balik Bukit, Batu Brak, Belalau, Suoh, Sukau, Ranau, Sekincau, Gedung Surian, Way Tenong dan Sumber Jaya. Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Kalianda, Penengahan, Palas, Pedada, Katibung, Way Lima, Padangcermin, Kedondong dan Gedongtataan. Kabupaten Tanggamus di Kecamatan Kotaagung, Semaka, Talangpadang, Pagelaran, Pardasuka, Hulu Semuong, Cukuhbalak dan Pulau Panggung. Kota Bandar Lampung di Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa. Banten di Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan Tegal dalam Kecamatan Anyer, Serang.
  2. Bahasa Lampung Logat Krui dipertuturkan oleh Etnis Lampung di Pesisir Barat Lampung Barat yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir Selatan, Karya Penggawa, Lemong, Bengkunat dan Ngaras.
  3. Bahasa Lampung Logat Melinting dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kecamatan Jabung, Kecamatan Pugung dan Kecamatan Way Jepara.
  4. Bahasa Lampung Logat Way Kanan dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan yakni di Kecamatan Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakuan Ratu.
  5. Bahasa Lampung Logat Pubian dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomosili di Kabupaten Lampung Selatan yaitu di Natar, Gedung Tataan dan Tegineneng. Lampung Tengah di Kecamatan Pubian dan Kecamatan Padangratu. Kota Bandar Lampung Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat.
  6. Bahasa Lampung Logat Sungkay dipertuturkan Etnis Lampung yang Berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Sungkay Selatan, Sungkai Utara dan Sungkay Jaya.
  7. Bahasa Lampung Logat Jelema Daya atau Logat Komering dipertuturkan oleh Masyarakat Etnis Lampung yang berada di Muaradua, Martapura, Belitang, Cempaka, Buay Madang, Lengkiti, Ranau dan Kayuagung di Provinsi Sumatera Selatan.
B. Dialek Abung (dialek Nyo), terbagi menjadi:
  1. Bahasa Lampung Logat Abung Dipertuturkan Etnis Lampung yang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Kotabumi, Abung Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. Lampung Tengah di Kecamatan Gunung Sugih, Punggur, Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih Banyak, Seputih Mataram dan Rumbia. Lampung Timur di Kecamatan Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung dan Way Jepara. Lampung Selatan meliputi desa Muaraputih dan Negararatu. Kota Metro di Kecamatan Metro Raya dan Bantul. Kota Bandar Lampung meliputi kelurahan Labuhanratu, Gedungmeneng, Rajabasa, Jagabaya, Langkapura, dan Gunungagung (kelurahan Segalamider).
  1. Bahasa Lampung Logat Menggala Dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang meliputi Kecamatan Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang Tengah, Gunung Terang dan Gedung Aji.